Sukses

KNKT: Suara Pilot Tidak Terekam Saat Kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap suara pilot pesawat Sriwijaya Air SJ 182 tidak terekam di cockpit voice recorder, saat maupun sebelum jatuh.

Liputan6.com, Jakarta Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap suara pilot pesawat Sriwijaya Air SJ 182 tidak terekam di cockpit voice recorder, saat maupun sebelum jatuh. Akibatnya, KNKT kekurangan informasi soal pembicaraan di kokpit ketika pesawat mengalami gangguan.

Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo memaparkan, sebelum kecelakaan terjadi, ada kerusakan thrust lever sebelah kanan yang membuat asimetri tenaga pesawat sebelah kanan dan kiri.

Selain itu, pada saat pesawat mencapai ketinggian 11.000 kaki, pesawat yang akan berbelok ke kanan, malah menjadi datar dan akhirnya berbelok ke kiri.

"Perubahan-perubahan ini tidak disadari oleh pilot. Kami kebetulan dari cockpit voice recorder yang ditemukan kami mendapatkan bahwa suara kaptennya tidak terekam. Kami tidak bisa menentukan mengapa suara kaptennya tidak terekam," ujar Nurcahyo membeberkan hasil investigasi saat rapat dengar pendapat di Komisi V DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (3/11/2022).

KNKT menduga pilot tidak menggunakan headset, sehingga tidak terdengar suara pilot di cockpit.

"Namun, ada dugaan bahwa kaptennya tidak menggunakan headset," ujar Nurcahyo.

Mikrofon di dalam cockpit juga tidak merekam suara apapun. Nurcahyo menyebut, hal ini diduga karena tertutup suara bising. Oleh karena itu, pembicaraan antara pilot tidak terdengar.

"Kemudian ada mikrofon yang di dalam kockpit yang kami harapkan bisa merekam apapun suara yang ada di kokpit, namun demikian ternyata pada channel ini tertutup suara bising pada 400 hertz sehingga suara pembicaraan tidak bisa direkam," ujar Nurcahyo.

Maka KNKT tidak dapat melakukan analisa bagaimana kerja sama cei cockpit. Hanya suara co pilot Sriwijaya Air SJ 182 dan pengatur lalu lintas udara saja yang terdengar.

"Jadi dari cockpit voice recorder ini kita tidak bisa menganalisa, bagaimana kerjasama di kokpit, apa saja perintahnya kapten kepada kopilot. Namun suara kopilot bisa kita dengar sepanjang waktu, suara dari pengatur lalu lintas udara juga bisa kita dengar," jelas Nurcahyo.

2 dari 3 halaman

Kronologi Kecelakaan

Sebelumnya, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis preliminary report atau laporan awal jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di perairan Kepulauan Seribu.

Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan Kapten Nurcahyo Utomo menjelaskan laporan awal KNKT memuat data faktual yang sudah dikumpulkan dalam 30 hari. 

Nurcahyo membeberkan, KNKT membentuk tim investigasi dan membagi tugas untuk mengumpulkan data ke pihak terkait, seperti Sriwijaya Air, Perum LPPNPI, dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sejak menerima informasi pesawat jatuh.

"Pengumpulan data dan pemeriksaan puing pesawat," ucap dia dalam keterangan pers, Rabu (10/2/2021).

Nurcahyo menerangkan, KNKT juga menganalis Crash Survivable Memory Unit (CSMU) dari Flight Data Recorder (FDR) yang ditemukan oleh tim SAR Gabungan. Hasilnya, diperoleh data sebanyak 370 parameter, selama 27 jam, terdiri dari 18 penerbangan termasuk yang mengalami kecelakaan. 

Berdasarkan laporan yang diterima, Nurcahyo membeberkan kronologi detail. 

Pesawat jenis Boeing 737-500 berangkat dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta dengan tujuan Bandar Udara Internasional Supadio, Pontianak, pada 9 Januari 2021, pada pukul 14.36 WIB. Saat itu, pesawat mengikuti jalur keberangkatan yang sudah ditentukan sebelumnya (ABASA 2D).

Data FDR merekam sistem autopilot aktif (engage) di ketinggian 1.980 kaki. Pada saat melewati ketinggian 8.150 kaki, tuas pengatur tenaga mesin (throttle) sebelah kiri bergerak mundur (tenaga berkurang).

Nurcahyo memaparkan pada pukul 14.38.51 WIB, karena kondisi cuaca, pilot meminta kepada pengatur lalu lintas udara (ATC) untuk berbelok ke arah 075° dan diizinkan. 

"ATC memperkirakan perubahan arah tersebut akan membuat SJY182 berpapasan dengan pesawat lain yang berangkat dari Landas Pacu 25L dengan tujuan yang sama. Oleh karena itu, ATC meminta pilot untuk berhenti naik di ketinggian 11.000 kaki," ujar dia.

Nurcahyo menjelaskan, pukul 14.39.47 WIB, ketika melewati 10.600 kaki dengan arah pesawat berada di 046°, pesawat mulai berbelok ke kiri. Tuas pengatur tenaga mesin sebelah kiri kembali bergerak mundur sedangkan yang kanan masih tetap.

"ATC memberi instruksi untuk naik ke ketinggian 13.000 kaki dan dijawab oleh pilot pukul 14.39.59 WIB. Ini adalah komunikasi terakhir dari SJY182," terang dia.

Nurcahyo menjelaskan, pukul 14.40.05 WIB, FDR merekam ketinggian tertinggi, yaitu 10.900 kaki. Selanjutnya pesawat mulai turun, autopilot tidak aktif (disengage) ketika arah pesawat di 016°, sikap pesawat pada posisi naik (pitch up), dan pesawat miring ke kiri (roll). 

"Tuas pengatur tenaga mesin sebelah kiri kembali berkurang, sedangkan yang kanan tetap," ucap dia.

Nurcahyo menuturkan, pukul 14.40.10 WIB, FDR mencatat autothrottle tidak aktif (disengage) dan sikap pesawat menunduk (pitch down). 

"Sekitar 20 detik kemudian FDR berhenti merekam data," kata dia.

3 dari 3 halaman

Penyebab Kecelakaan

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyampaikan penyebab kecelakaan pesawat Sriwijaya Air berkode penerbangan SJ 182 rute Jakarta - Pontianak. Pesawat ini jatuh di sekitar Pulau Laki dan Lancang, Kepulauan Seribu, Sabtu, 9 Januari 2021. 

Tim investigasi KNKT meyakini adanya gangguan pada sistem mekanikal pesawat Boeing 737-500 dengan registrasi PK-CLC tersebut. Hal tersebut tertungkap dari data Flight Data Recorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR).

"Pada saat pesawat naik terjadi perubahan mode auto pilot yang sebelumnya menggunakan komputer, berpindah menggunakan mode kontrol panel," kata Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi V DPR RI di Jakarta, Kamis (3/11/2022).

Nurcahyo menjelaskan dalam operasi normal, auto-throttle akan menggerakkan kedua thrust lever mundur untuk mengurangi tenaga mesin. Namun yang terjadi dengan pesawat pabrikan Amerika Serikat tersebut auto-throttle tidak dapat menggerakkan thrust lever kanan.

KNKT, telah memeriksa sebanyak tujuh komponen sehingga dipastikan terdapat gangguan mekanikal pada pesawat tersebut, bukan pada sistem komputer.

"Karena padatnya penerbangan hari itu dan kebetulan ada pesawat dengan tujuan yang sama, penerbangan SJY182 diminta Air Traffic Controller (ATC) untuk berhenti di ketinggian 11.000 kaki," ujarnya.

Lebih lanjut Nurcahyo mengungkapkan menjelang ketinggian 11.000 kaki tenaga mesin semakin berkurang lantaran thrust lever kanan tidak bergerak, yang menyebabkan perbedaan tenaga mesin sebelah kiri dan kanan semakin besar, atau disebut sebagai asimetri.

Ia mengatakan asimetri menimbulkan perbedaan tenaga mesin yang menghasilkan gaya yang membelokkan pesawat ke kiri. Gaya ke kiri menjadi lebih besar dari gaya yang membelokkan ke kanan oleh aileron dan flight spoiler sehingga pesawat berbelok ke kiri.

Adapun keterlambatan Cruise Thrust Split Monitor (CTSM) untuk memutus auto-throttle pada saat asimetri karena flight spoiler memberikan nilai yang lebih rendah berakibat pada asimetri yang semakin besar.

"Kurangnya monitoring pada instrumen dan posisi kemudi yang miring mungkin telah menimbulkan asumsi bahwa pesawat miring sehingga tindakan pemulihan tidak sesuai. Pemulihan ini tidak bisa dilaksanakan secara efektif dan tepat waktu," katanya.

Ia menambahkan proses investigasi dipimpin oleh KNKT dan dilaksanakan sesuai ketentuan Internasional Civil Aviation Organization (ICAO), dengan melibatkan negara pembuat pesawat yakni Boeing asal Amerika Serikat, Transport Safety Investigation Bureau Singapura, Air Accident Investigation Branch Inggris, hingga pabrik mesin General Electric.

 

Reporter: Ahda Bayhaqi

Sumber: Merdeka